Wednesday, August 19, 2009

Perginya 'bunga' demokrasi Korea Selatan

Bekas Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung meninggal dunia hari ini selepas lebih sebulan dirawat akibat radang paru-paru, lapor agensi berita Yonhap. Berusia 85 tahun, Kim dimasukkan ke Hospital Seoul sejak bulan lalu kerana pneumonia. Kim menjadi presiden Korea Selatan pada 1998 hingga 2003. Beliau pernah memenangi Hadiah Nobel Keamanan kerana inisiatifnya berbaik-baik dengan jirannya, Korea Utara termasuk ketika pemerintahan Kim Jong Il pada 2000.

petikan dari wikipedia


Kim Dae-jung (lahir di Haui-do,(kini Jeolla Selatan), Korea Selatan, 3 Desember 1925 – meninggal di Seoul,Korea Selatan, 18 Agustus 2009 pada umur 83 tahun) Templat:Pelafalan adalah mantan presiden Korea Selatan dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2000. Ia menjadi orang pertama Korea yang menerima penghargaan itu.[1] Penganut Katolik Roma sejak 1957 ini dijuluki sebagai "Nelson Mandela"-nya Asia[2] dan seorang tokoh oposisi demokrasi saat pemerintahan diktatur militer. Kim Dae Jung menjabat sebagai Presiden (menggantikan Kim Young-sam) pada periode 1998-2003.

Masa kecil
Ia lahir di Haui-do, Jeollanam-do, sebuah kepulauan di wilayah Korea Selatan. Ia lahir dari pasangan petani kaya dari pulau Haui-do (baratdaya lepas pantai Semenanjung Korea) dan pedagang. Ia sempat menggeluti bisnis perkapalan sebagai Presiden Direktur Dae Yang Shipbuilding.

Karier politik
Semenjak munculnya ke panggung politik pada tahun 1954, ia dikenal sebagai seorang politikus yang selalu lolos dari percobaan pembunuhan, penculikan, dan hukuman mati. Ia pernah menjadi akuntan pada sebuah penerbitan surat kabar dan mulai tampil di panggung politik sejak tahun 1961 dengan menjadi anggota parlemen dan lulus Universitas Korea bidang bisnis pada tahun 1964.
Ia memutuskan terjun ke politik setelah kudeta militer pada 16 Mei 1961 terhadap Perdana Menteri John M. Chang. Kudeta itu menghantar Panglima Divisi II Angkatan Darat Mayjen Park Chung-hee berkuasa. Tahun 1975, ia dijatuhi hukuman penjara lima tahun karena menentang Yushin dan dibebaskan pada tahun 1978.
Kurun waktu pemerintahan Jenderal Park Chung-hee dan Kim Jong-pil yang menjabat perdana menteri (1971-1973) seperti menjadi periode kelabu baginya. Sebagai aktivis gerakan pro-demokrasi dan anti-militerisme, ia dianggap sebagai penghambat atau penghalang karena potensinya dalam mengancam stabilitas kekuasaan pemerintah yang sangat berkepentingan menjaga status quo. Ia pun dicap sebagai "musuh negara".
Tahun 1971, ia mendapat ancaman teror. Operasi intelijen dimatangkan mengingat Park Chung-hee nyaris terkalahkan saat perebutan kursi presiden pada pemilu tahun itu. Jalan lapang yang tinggal selangkah pun hilang karena ditelikung oleh Park Chung-hee dan Kim Jong-pil lewat sebuah kecelakaan mobil di jalan raya. Kakinya sedikit pincang dan menjadi terlalu sedikit berekspresi. Ia akan dihabisi oleh saingan politiknya.
Kejadian tersebut bukan membentuk langkah mundur, tetapi justru semakin bersemangat. Ia bahkan menjadi seorang yang keras mengecam pemerintahan militer, sehingga teror pun semakin kuat terhadap dirinya. Tahun 1973, saat berada di dalam kamar sebuah hotel di Tokyo ia diculik oleh agen inteligen KCIA. Ia diculik serta diikat pada sebilah papan perahu motor dan perahunya diapungkan ke lautan lepas. Rencananya ia akan ditenggelamkan hidup-hidup. Tetapi, ia masih terselamatkan oleh sebuah helikopter yang melintas di atasnya dan menolongnya.
Semakin lantang bersuara, semakin kuat ia mendapatkan teror. Gara-gara menandatangani deklarasi Perjuangan Mengembalikan Demokrasi Nasional, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara (1976) atas tuduhan menggalang aktivis anti-pemerintah. Dua tahun ia meringkuk di penjara.
Peristiwa Kwangju berdarah pada tahun 1979 yang ditandai dengan pendudukan massa selama sepuluh hari atas sejumlah markas militer dan berakhir dengan tewasnya sekitar 200 orang serta penangkapan sedikitnya 30.000 tersangka oleh militer pada 27 Mei 1980 menjadikannya ditangkap. Palu hukuman mati dijatuhkan pada tahun 1979 atas tuduhan hendak menjatuhkan pemerintahan militer.
Oleh gencarnya tekanan politik mahasiswa pendukung pro-demokrasi dan protes masyarakat internasional, akhirnya memaksa Presiden Chun Doo-hwan mengalihkan hukumannya menjadi seumur hidup (1981). Ia ditahan pemerintah militer di Cholla dan dibebaskan melalui surat amnesti umum tahun 1982.
Karena masih dianggap potensial mengancam pemerintah, Chun Doo-hwan mengharuskannya pergi ke Amerika Serikat pada tahun 1982. Alasannya agar berobat akibat gangguan saraf karena kecelakaan mobil. Selama dua tahun tinggal di Washington, ia mendirikan The Korean Institute for Human Rights. Ia kembali ke Korea Selatan pada tahun 1985. Begitu mendarat di Seoul, ia dihadang petugas dan langsung dikenai hukuman tahanan rumah hingga Februari 1986.
Semangat cinta demokrasi, berwatak jujur, dan menjunjung keadilan sangat mewarnai perjalanan hidup dan karier politiknya. Latar belakang keluarganya yang penganut Katolik tentu tak mengherankan jika itu dipraktekkan sungguh-sungguh. Dari ayahnya, ia menyerap citra rasa tinggi pada nilai seni, sedang ibunya banyak memberikan wejangan sekaligus teladan hidup yang sarat nilai moral dan sosial.
Proses internalisasi (pembatinan) nilai-nilai moral berjalan mulus seiring dengan seringnya menyaksikan teladan nyata kedua orang tua yang tanpa henti mempraktekkan "prinsip demokrasi" dalam keluarga dan menumbuhkan semangat pengampunan. Semangat cinta demokrasi, kebenaran, dan keadilan itu pula yang menjadikan rakyat Korea Selatan tak pernah bosan menyaksikan kiprah politisi yang dijuluki Indongcho (Si Rambut Teki) yang tahan banting.
Meskipun pada pemilu presiden 1971, 1987, dan 1992, ia gagal merebut kursi presiden sepanjang karier politiknya selama 43 tahun. Pesona dan kharismanya tetap memancar kuat. Ia pun kemudian menang dalam pemilu presiden Desember 1997 saat mengalahkan Lee Hoi-chang dari Partai Besar Nasional dan Rhee In-je dari Partai Rakyat Baru. Berakhirnya kekuasaan Presiden Kim Young-sam selintas menandakan pupusnya dominasi militer yang runtuh akibat krisis moneter.

Krisis Ekonomi Tahun 1997
Awal tahun 1998, Kim Dae-jung dilantik sebagai Presiden Korea Selatan. Pelantikannya ditandai dengan pemukulan bel raksasa Poshin-gak yang pernah diperdengarkan ketika Korea Selatan menyatakan kemerdekaan dari Jepang. Ia pun menjadi presiden pertama dari kelompok oposisi. Upacara pengambilan sumpah dihadiri 38.000 orang di sebuah plaza di depan Majelis Nasional dan ribuan lain di luar plaza.
Setelah bantuan IMF (Dana Moneter Internasional) diterima, ia melancarkan serangkaian pembaruan. Meskipun terjadi bentrokan dan pertengkaran di antara sesama warga, semuanya tidak menyurutkan niat untuk bersama-sama mengatasi krsis dengan cara menyumbang emas untuk negara. Lima chaebol terbesar yaitu Hyundai, Samsung, Daewoo, LG, dan Sungkyong menjadi teladan dalam melakukan restrukturisasi dan liberalisasi. Ada penghargaan para pejabat tinggi dan warga pada hukum, demokrasi, tradisi, dan kerja keras.
Ada kompromi antara kaum buruh dan chaebol. Pemerintah mematok penanaman modal asing senilai US$ 15 milyar dan US$ 20 milyar hingga tahun 2002, sehingga mengalami pertumbuhan tingkat ekonomi sebesar 7% yang melampau perkiraan (2-3%). Tingkat bunga yang membubung sampai 30% tinggal 8% saja. Mata uang won stabil, cadangan devisa bertambah, dan negara mulai membayar pinjaman IMF sebesar US$ 3,8 juta.
Pengangguran berhasil diturunkan, dari 6,8% pada tahun 1998 menjadi sekitar 4,4% pada akhir tahun 1999. Ia juga mengampuni Chun Doo-hwan (presiden periode 1980-1988) dan Roh Tae-woo (presiden periode 1988-1993) yang terbukti bersalah selama menjabat. Atas prakarsanya memperdamaikan negaranya dengan Korea Utara, ia pun menerima Nobel Perdamaian 2000 bersama Pemimpin Korea Utara Kim Jong-il.

No comments:

Post a Comment